Gunem.id – Gagalnya sidang paripurna pengesahan bersama perubahan Perda nomor 1 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) menjadi Perda RTRW Kabupaten Jember 2024-2044, menuai kritik tajam dari akademisi. Dr. Muhammad Iqbal, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Jember, menilai bahwa hal ini menunjukkan DPRD Jember ingin lari dari tanggung jawab.
Related Post
"Proses pembahasan Raperda ini sudah cukup lama, mulai tahun 2022. Sudah melewati tahapan teknokratik yang tidak mudah dan sudah banyak masukan serta catatan," ujar Iqbal. Ia menyayangkan penolakan sebagian anggota Dewan untuk bersepakat mengadakan sidang paripurna.
Menurut Iqbal, DPRD Jember telah menunda pengesahan RTRW hingga masa jabatan mereka berakhir pada 21 Agustus 2024. Padahal, pembahasan RTRW telah mencapai tahap akhir, bahkan telah mendapat persetujuan substansi dari Kementerian ATR-BPN.
"Menyerahkan kepada DPRD baru untuk pengesahan dengan mengulur waktu dan mengabaikan seluruh proses panjang adalah cermin tidak bertanggung jawab dan mental mau cuci tangan," tegasnya.
Iqbal juga mengungkapkan bahwa DPRD Jember telah dilibatkan dalam seluruh proses pembahasan RTRW, termasuk konsultasi publik, sinkronisasi dan konsultasi teknis dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, hingga forum lintas sektor bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang-Badan Pertanahan Nasional.
"Jika anggota Dewan menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan dalam pembahasan lintas sektor di Jakarta, seharusnya itu semua sudah tuntas," tegasnya.
Dengan batalnya pengesahan RTRW, Bupati Jember, Hendy Siswanto, dipaksa menerbitkan peraturan kepala daerah (perkada). Hal ini dikhawatirkan akan mengabaikan kepentingan masyarakat Jember, karena tidak melalui proses legislasi yang melibatkan DPRD.
"Ini adalah dampak krusial bila Raperda RTRW berlarut tak kunjung disahkan, bahkan pada saat DPRD baru nanti, adalah hilangnya keotonomian Jember atas penataan dan pemanfaatan ruang," jelas Iqbal.
Keengganan DPRD Jember menggelar paripurna ini, menurut Iqbal, telah mengubah ruang teknokratik menjadi wilayah politik.
"Tanpa perda, maka bupati dipaksa menerbitkan peraturan kepala daerah (perkada). Jika kemudian dalam muatan Perkada RTRW itu terkandung kepentingan-kepentingan yang belum tentu sejalan dengan kepentingan masyarakat Jember, maka masyarakat akan memprotes bupati," jelasnya.
Dengan demikian, peluang dan kepentingan pemerintah pusat untuk menentukan pemanfaatan RTRW Jember menjadi celah lebar yang lebih terbuka.
Lima fraksi di DPRD Jember, yaitu Fraksi Gerakan Indonesia Berkarya (GIB), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Nasional Demokrat, Fraksi Pandekar, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, menolak pengesahan Raperda RTRW.
"Ketua-ketua fraksi menyampaikan aspirasi, bahwa justru kalau diparipurnakan hari ini, Jumat (16/8), kesannya terburu-buru. Wong kita dikasih waktu dua bulan kok. Kenapa dua bulan ini tidak dimaksimalkan. Kalau dimaksimalkan, kita bisa memelototi peta tata ruang lebih detail lagi," kata Ketua DPRD Jember, Itqon Syauqi.
Tinggalkan komentar
Anda harus masuk untuk berkomentar.