Gunem.id – Kebijakan hilirisasi smelter nikel yang digaungkan pemerintah seakan menjadi solusi ajaib untuk memajukan perekonomian Indonesia. Namun, menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, kebijakan ini justru sarat dengan pencitraan dan berpotensi merugikan negara.
Related Post
Anthony menilai proses smelter atau pemurnian bijih nikel bukanlah hal yang rumit, bahkan sebagian besar investasi hilirisasi smelter justru diberikan kepada perusahaan asing dengan insentif besar. "Mungkin investasi ini bekerja sama dengan mitra lokal para pejabat yang sedang berkuasa, yang bisa mengatur siapa yang dikasih izin," sindir Anthony.
Faktanya, ekonomi nikel Indonesia mulai meredup. Ekspor nikel pada triwulan II 2023 (Q2/2023) anjlok drastis, baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (YOY) maupun dengan triwulan sebelumnya (QOQ). Ekspor ferronickel, pig iron, dan nickel oxide masing-masing anjlok 70,6 persen, 71 persen, dan 57,4 persen.
Penurunan tajam ini disebabkan oleh volume ekspor dan harga nikel internasional yang merosot. Anthony memprediksi nasib ekspor komoditas hilirisasi smelter nikel tahun ini akan suram.
"Yang juga sudah pasti suram tentunya pencemaran dan kerusakan lingkungan di daerah tambang nikel," tegas Anthony. Praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab dan ilegal telah merambah ke kawasan hutan, seperti yang terjadi di daerah tambang nikel Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara.
Hilirisasi smelter nikel yang awalnya digadang-gadang sebagai solusi ekonomi, kini justru menuai pertanyaan besar. Apakah kebijakan ini hanya pencitraan semata atau benar-benar bermanfaat bagi Indonesia?
Tinggalkan komentar
Anda harus masuk untuk berkomentar.