Informasi dari Gunem.id menyebutkan bahwa rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025, sesuai UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), menuai kritik tajam. Ekonom konstitusi, Defiyan Cori, menilai kebijakan ini sebagai tindakan "kerusakan moral luar biasa".
Related Post
Defiyan mempertanyakan rasionalitas keputusan tersebut di tengah kondisi ekonomi yang masih lesu. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 4-5 persen dan deflasi selama lebih dari empat bulan, menurutnya, membuat kebijakan ini sangat berisiko. Ia menekankan pentingnya penjelasan rinci dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait alasan di balik kenaikan PPN ini, di luar alasan kepatuhan pada regulasi.
Lebih lanjut, Defiyan menyoroti peningkatan penerimaan pajak pada tahun 2023 yang mencapai Rp1.869,2 triliun, termasuk penerimaan PPN dan PPnBM sebesar Rp764,3 triliun. Menurutnya, kenaikan PPN hanya akan menambah sekitar Rp20,26 triliun, angka yang dinilai tidak signifikan. Pertanyaan besar pun muncul: apa sebenarnya motif di balik kenaikan PPN ini, mengingat UU tersebut juga disahkan oleh DPR RI? Defiyan menyayangkan kebijakan ini, terutama mengingat posisi Sri Mulyani sebagai representasi perempuan dan ibu rumah tangga yang seharusnya mengedepankan aspek kemanusiaan.
Tinggalkan komentar
Anda harus masuk untuk berkomentar.