Gunem.id – Pernyataan bersama yang terbit usai pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping di Beijing, Republik Rakyat China (RRC), tak membahayakan kedaulatan Indonesia atas laut teritorial di utara perairan Pulau Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Justru, pernyataan ini menguatkan kedaulatan Indonesia.
Related Post
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat hubungan internasional, DR. Teguh Santosa. Menurutnya, batas laut teritorial Indonesia di perairan tersebut telah disepakati dengan Vietnam dan Malaysia, dan tergambar dalam peta baru Indonesia yang dirilis tahun 2017.
"Penyelesaian batas laut teritorial Indonesia dengan Vietnam dan Malaysia adalah puncak perjuangan laut nusantara yang dimulai sejak era Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja (Deklarasi Djuanda 1957) dan diadopsi dunia internasional dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UN Convention on the Law of Sea (UNCLOS) 1982," jelas Teguh, dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Teguh menambahkan, di luar batas laut teritorial, Indonesia dan kedua negara tetangga masih memiliki perbedaan pandangan mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing.
"Sejak lama, perairan Laut China Selatan menjadi masalah pelik dan kompleks di kalangan negara-negara ASEAN yang memiliki pulau-pulau di perairan itu. Tahun 2009, RRC mengklaim perairan tersebut sebagai miliknya dengan sembilan garis putus atau nine dashed-lines (9DL). Klaim RRC ini berada di luar laut teritorial Indonesia, namun beririsan dengan laut teritorial Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam, serta sebagian ZEE Indonesia," ungkap Teguh, Wakil Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).
Teguh mencontohkan sikap Filipina yang mengajukan gugatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda pada tahun 2013 karena laut teritorialnya diklaim RRC. Pada tahun 2016, PCA memenangkan gugatan Filipina. Namun RRC tak mengakui kasus dan keputusan PCA.
"Istilah ‘areas of overlapping claims’ yang digunakan pada point ke-9 pernyataan bersama RI dan RRC merujuk pada perairan di luar laut teritorial Indonesia yang memang diklaim oleh berbagai negara di kawasan," jelas Teguh, Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).
Menurut Teguh, point ke-9 pernyataan bersama RI dan RRC menawarkan pendekatan baru untuk menyelesaikan sengketa dan memulai kerjasama regional di perairan, tanpa mengabaikan UNCLOS 1982 dan Declaration on the Conduct (DOC) of Parties in the South China Sea.
"Model ini telah diterapkan di sejumlah sengketa perairan yang pelik, seperti di Laut Kaspia antara Azerbaijan, Iran, Kazakhstan, Rusia, dan Turkmenistan, pada tahun 2018," tambah Teguh, mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalists (CAJ).
Teguh, mantan Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), juga menilai pernyataan bersama RI dan RRC sebagai wujud dari kebijakan good neighbour yang diperkenalkan pemerintahan Prabowo Subianto.
"Sebagai tetangga yang baik, Indonesia merasa berkewajiban untuk menawarkan solusi penyelesaian konflik dan mengubah ketegangan menjadi kerja sama yang saling menguntungkan," pungkas Teguh Santosa.
Tinggalkan komentar
Anda harus masuk untuk berkomentar.