Informasi dari Gunem.id menyebutkan bahwa pemerintah memiliki utang triliunan rupiah kepada produsen dan distributor minyak goreng, serta ritel modern. Hal ini terungkap dalam konferensi pers Direktur Ekonomi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Mulyawan Ranamanggala, di Jakarta, Rabu (10/5). Utang tersebut merupakan tagihan rafaksi yang mencapai Rp 1,1 triliun.

Related Post
Penyebabnya? Kegagalan pemerintah menjalankan Permendag No 3/2022. Peraturan tersebut bertujuan meredam lonjakan harga minyak goreng yang pada Januari 2022 mencapai lebih dari Rp 20.000 per liter. Untuk menstabilkan harga di tingkat konsumen, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter. Selisih harga inilah yang seharusnya ditanggung pemerintah melalui dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

"Harga Rp 14.000 itu pada awalnya disubsidi pemerintah, mempertimbangkan selisih antara Harga Acuan Keekonomian (HAK) Rp 17.260 dengan HET," jelas Mulyawan. Ia menambahkan bahwa HAK sendiri masih di bawah harga rata-rata Januari 2022 yang mencapai Rp 20.914 per liter. Dengan demikian, terdapat dua kali selisih harga yang merugikan pelaku usaha.
Perubahan kebijakan, tepatnya dengan berlakunya Permendag No 6/2022 yang mencabut poin subsidi pada Permendag No 3/2022, membuat pemerintah menanggung beban utang rafaksi tersebut. Mulyawan menegaskan bahwa pelaku usaha mengalami kerugian ganda: selisih harga pasar dengan HAK, dan selisih antara HAK dan HET. Karenanya, tuntutan ganti rugi dari pelaku usaha dinilai sesuai koridor peraturan yang berlaku. Kini, pemerintah harus menyelesaikan tagihan rafaksi yang nilainya mencapai angka fantastis tersebut.
Tinggalkan komentar
Anda harus masuk untuk berkomentar.